BANDA ACEH, 25 Oktober 2025 – Kita sering mendengar bahwa stunting identik dengan anak yang bertubuh pendek. Pandangan ini telah mengakar kuat dalam benak masyarakat dan bahkan di kalangan praktisi kesehatan. Kita melihat seorang anak dengan tinggi di bawah rata-rata dan langsung menyimpulkan, “Itu tanda-tanda stunting.” Namun, pernahkah kita berhenti sejenak untuk berpikir, bahwa stunting tidak hanya berbicara tentang tinggi badan? Bahwa ia bisa menunjukkan dirinya melalui hal yang lebih intim dan sering kita abaikan, seperti senyum dan kesehatan gigi-mulut seorang anak? Justru, pada bagian yang tersembunyi inilah, urgensi stunting sebagai masalah gizi kronis yang mempengaruhi kualitas hidup seutuhnya—bukan sekedar ukuran tubuh—menjadi semakin nyata.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Stunting masih menjadi tantangan besar kesehatan di Indonesia. Data menunjukkan bahwa prevalensi stunting nasional pada 2023 mencapai 21,5%, dengan target pemerintah menurunkannya menjadi sekitar 14%. Data stunting di wilayah Sumatera menunjukkan bahwa Aceh masih menjadi provinsi dengan prevalensi tertinggi, menempatkannya di zona merah nasional. Kabupaten Gayo Lues mencatat angka stunting tertinggi mencapai 42,9%, diikuti Subulussalam (41,8%), Bener Meriah (40%), dan Pidie (39,3%). Sementara di Sumatera Utara, Mandailing Natal bahkan menembus 47,1%, dan Padang Lawas sekitar 42%, menunjukkan bahwa masalah gizi kronis belum terselesaikan. Di Sumatera Selatan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (32,2%) dan Ogan Komering Ulu (>30%) juga masih masuk kategori sangat tinggi. Meski beberapa daerah seperti Kota Sabang (8,6%) dan Solok Selatan (10,2%) berhasil menekan angka stunting, secara keseluruhan Sumatera masih menghadapi tantangan besar, terutama pada daerah dengan akses pangan terbatas, sanitasi buruk, serta minimnya pelayanan gizi dan kesehatan gigi anak. Hal ini menggambarkan bahwa stunting bukan sekadar masalah tinggi badan, melainkan cerminan ketimpangan akses kesehatan dan kualitas hidup anak di berbagai daerah.
Dampak stunting tidak hanya membuat anak tumbuh lebih pendek, tetapi juga berimbas luas pada kesehatan fisik, kognitif, dan sosial. Anak stunting rentan sakit karena sistem imun lemah, mengalami keterlambatan perkembangan otak sehingga prestasi akademik terganggu, dan berisiko tinggi terkena penyakit kronis saat dewasa. Dari sisi kesehatan gigi dan mulut, stunting dapat menyebabkan keterlambatan tumbuh gigi, rahang sempit, email gigi rapuh, hingga gusi mudah terinfeksi. Selain itu, stunting juga berdampak pada kepercayaan diri anak, menimbulkan stigma sosial, bahkan menurunkan produktivitas ketika mereka dewasa. Dengan kata lain, stunting bukan hanya soal ukuran tubuh, melainkan masalah multidimensi yang menentukan kualitas generasi mendatang.
Stunting: Lebih dari Sekadar Tinggi Badan
Secara sederhana, stunting adalah gangguan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis yang terjadi sejak 1000 hari pertama kehidupan, yaitu dari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun. Kondisi ini bukan hanya membuat anak menjadi pendek, tetapi juga mempengaruhi perkembangan yang tidak terlihat oleh mata telanjang. Dampak jangka panjangnya sangat serius: gangguan perkembangan otak, menurunnya fungsi kognitif, terganggunya metabolisme tubuh, serta melemahnya daya tahan terhadap penyakit. Sayangnya, karena fokus utama mayoritas masyarakat dan tenaga kesehatan hanya pada indikator tinggi badan, tanda-tanda lain yang juga krusial sering terlewatkan.
Senyum yang Tertahan: Dampak Stunting pada Kesehatan Gigi dan Mulut
Gigi dan mulut sering disebut sebagai “jendela” atau cermin kesehatan tubuh secara keseluruhan. Hal ini juga berlaku untuk kasus stunting. Dampak stunting pada kesehatan gigi-mulut jauh lebih kompleks dari yang kita bayangkan. Pertama, pertumbuhan rahang terhambat. Kekurangan gizi kronis akan mengganggu perkembangan tulang rahang, membuatnya tidak tumbuh secara optimal. Kondisi ini bisa menyebabkan maloklusi (susunan gigi tidak teratur) dan gigi berjejal, yang tidak hanya mengganggu fungsi pengunyahan, tetapi juga bisa mengubah bentuk wajah anak. Kedua, stunting sering menyebabkan keterlambatan erupsi gigi. Alih-alih tumbuh sesuai jadwal, gigi anak stunting seringkali muncul lebih lambat, kadang hingga satu atau dua tahun. Keterlambatan ini mengganggu proses belajar mengunyah dan berbicara. Akibatnya, anak mungkin kesulitan makan makanan padat, yang pada akhirnya memperburuk asupan gizi mereka. Hal ini juga bisa menurunkan rasa percaya diri anak saat berinteraksi dengan teman-temannya. Ketiga, stunting membuat email gigi rapuh (hipoplasia). Kekurangan kalsium, fosfor, dan vitamin D selama pembentukan gigi di masa 1000 hari pertama kehidupan membuat lapisan terluar gigi (email) tidak terbentuk sempurna. Seringkali, gigi anak stunting memiliki bercak putih atau kecoklatan, bahkan cekungan, yang menandakan hipoplasia. Menurut literatur kedokteran gigi, hipoplasia email membuat gigi sangat rentan terhadap karies dini, yang sering disalah artikan sebagai akibat dari “terlalu banyak makan manis” padahal akarnya adalah masalah gizi. Keempat, terjadi gangguan fungsi oromotor akibat otot-otot di sekitar mulut yang lemah. Hal ini membuat anak stunting sulit mengunyah makanan dengan benar, terutama makanan yang lebih keras dan kaya serat. Akibatnya, mereka cenderung lebih suka makanan yang lunak, yang seringkali kurang padat gizi. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan: kurang gizi menyebabkan gangguan oromotor, yang pada akhirnya membatasi asupan gizi anak. Terakhir, kerentanan gusi dan jaringan periodontal juga meningkat. Sistem imun yang lemah akibat kekurangan gizi membuat anak stunting lebih mudah mengalami peradangan gusi. Poin-poin ini terangkum dalam sebuah kasus yang pernah saya temui: seorang anak berusia 4 tahun dengan tinggi badan di bawah rata-rata, namun kedua orang tuanya tidak menyadari bahwa ia stunting. Mereka baru mencari bantuan karena sang anak mengalami keterlambatan tumbuh gigi dan sudah banyak gigi yang rusak (karies) sejak dini.
Mengapa Hal Ini Jarang Disadari?
Seringnya, masalah gigi dan mulut pada anak dianggap sebagai masalah lokal, bukan cerminan masalah gizi sistemik. Masyarakat, dan bahkan beberapa tenaga kesehatan, terlalu terpaku pada data tinggi dan berat badan sebagai satu-satunya indikator stunting. Peran dokter gigi seringkali terbatas pada pengobatan karies atau penanganan gigi berjejal, bukan sebagai garda terdepan untuk deteksi dini masalah gizi. Minimnya edukasi tentang fakta bahwa gigi dan mulut bisa menjadi “cermin” status gizi anak membuat tanda-tanda peringatan ini terabaikan.
*Solusi dan Peran Tenaga Kesehatan*
Mencegah stunting, termasuk dampak pada gigi dan mulut, membutuhkan pendekatan holistik. Kolaborasi antara dokter gigi, ahli gizi, dan dokter anak sangatlah penting. Pemeriksaan gigi anak, terutama di masa-masa awal pertumbuhan, bisa menjadi pintu masuk yang efektif untuk deteksi dini stunting. Para profesional kesehatan perlu diedukasi untuk melihat gigi dan mulut bukan hanya sebagai objek perawatan, tetapi juga sebagai alat diagnostik. Edukasi kepada orang tua juga harus ditekankan, bahwa gizi seimbang yang optimal tidak hanya mencegah tubuh pendek, tetapi juga membangun fondasi untuk senyum yang sehat dan kuat.
Stunting bukan hanya tentang tinggi badan yang tidak mencapai standar, tetapi juga tentang senyum anak yang tertahan, gigi yang rapuh, dan potensi masa depan yang terhambat. Jangan menunggu gigi rapuh, rahang terganggu, atau kepercayaan diri yang menurun, baru kita sadar bahwa anak mengalami stunting. Kita harus mulai
melihat lebih dalam. Stunting bisa terlihat dari hal-hal kecil, dari senyum dan kesehatan gigi-mulut mereka. Senyum anak adalah cermin masa depan bangsa. Mari pastikan ia tumbuh utuh—tinggi, sehat, dan penuh percaya diri.
Sumber : Cut Renaya Akira Kesya, Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Syiah Kuala














