MEDAN SUMUT, Beritaimn.com – Gubernur Sumatera Utara Edy Ramayadi melantik puluhan pejabat eselon II dan ratusan eselon III Pemprovsu beberapa waktu yang lalu untuk mengisi jabatan di lingkungan Pemprovsu, tepatnya Selasa (21/02/2023) di aula Tengku Rizal Nurdin Jln. Sudirman Medan mengundang kecemburuan sosial.
Penyebab kecemburuan tersebut adalah dalam pengangkatan dan pelantikan mengisi jabatan eselon II dan III itu, dinilai tidak mengadopsi keterwakilan etnis sebagai pemangku adat dan budaya di Sumut, sangat kita sesalkan, sebut Kadirun Padang dari Kordinator Lembaga Peduli Masyarakat Pakpak (LPMP).
Kepada sejumlah wartawan di Medan, Kamis (02/03/2023). Kadirun Padang menyampaikan, walaupun kebijakan itu tidak ada diatur dalam suatu peraturan atau undang undang, seharusnya Edy Ramayadi selaku Gubsu mengadopsi keterwakilan suku dalam mengangkat pejabat eselon II dan III dalam membangun Provinsi Sumatera Utara sebab wilayah Sumut ini tidak terlepas dari daerah tanah ulayat dan etnis seperti suku Toba dari Taput sekitarnya, suku Karo dari Karo, suku Mandailing dan Angkola dari Tabagsel, suku Melayu dari Deli sekitarnya dan suku Pakpak dari Dairi juga Pakpak Bharat serta suku lainnya, jelas Kadirun Padang.
Suku Pakpak mempunyai dua kabupaten tanah Ulayat yaitu Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat yang juga bernaung diwilayah Pemprovsu sehingga putra putri Pakpak seharusnya di ikutsertakan dalam membangun Provinsi Sumut dengan cara diberikan porsi jabatan untuk bisa berkarya sebagai perwakilan etnis sebagai salah satu pemegang hak ulayat di Sumatera utara, sebut Kadirun.
Dulunya sebelum rejim Edy Ramayadi sebagai Gubernur Sumatera Utara, kebiasaan keterwakilan sudah dirintis oleh Gubsu pendahulunya, seperti jaman pemerintahan Raja Inal Siregar, T. Rizal Nurdin, Rudolf Pardede, Gatot PN dan T. Erry Nuradi.
“Minimal satu orang perwakilan etnis suku yang ada di Sumut menduduki jabatan di eselon II dan beberapa orang eselon III Pemprovsu mewakili suku Pakpak, ucap salah satu Fungsionaris DPP FORMADANA ini.
Pada masa itu, juga digairahkan kegiatan FORKOLA (Forum Komunikasi Lintas Adat) Sumatera Utara yang di isi kumpulan perwakilan para tokoh adat yang ada di Sumut, ujar Ketua DPP LSM SIMPARAS ini.
Namun setelah kami amati selama rejim Edy Ramayadi sebagai Gubsu, hal yang sudah dirintis dan dilakukan oleh Gubernur pendahulunya diabaikan dan nampaknya tak berlaku lagi sehingga apa yang disebut dengan jargon SUMUT BERMARTABAT hanya sebatas slogan saja dan telah terbukti dalam sejumlah pelantikan yang dilakukan masa pemerintahan Edy Ramayadi kurang mengadopsi keterwakilan etnis yang ada di Sumut terutama suku Pakpak, ungkap Kadirun Padang.
Untuk itu, saya yang berasal dari suku Pakpak menilai Gubernur Sumut Edy Ramayadi kurang mencintai atau menganggap tidak ada lagi suku Pakpak, sehingga selama kepemimpinannya tidak pernah putra putri etnis Fakfak diberi kesempatan memangku jabatan eselon II di Pemprovsu untuk berkarya membangun Sumut, tegas Kordinator Lembaga Peduli Masyarakat Pakpak ini.
“Beberapa orang ASN Pemprovsu putra putri Pakpak berulangkali mencoba mengikuti lelang jabatan di lingkungan Pemprovsu, namun semua kandas dan tak terpilih untuk dilantik oleh Gubsu menjadi salah satu menduduki jabatan eselon II. Apakah karena orang Pakpak itu miskin atau karena tidak punya duit atau karena tak mampu SDMnya. Kalau masalah SDM saya kira bisa mengimbangi atau setidaknya mengikuti sahabat kita suku lain,” ujar Kadirun Padang.
Seharusnya jargon Sumut BERMARTABAT itu betul betul semua bermartabat dan salah satunya adalah melibatkan keterwakilan seluruh suku untuk berkarya membangun Provinsi Sumut ini agar tak ada kecemburuan. Tapi kalau begini caranya dan kebijakan Edy Ramayadi mengangkat pejabatnya, rasanya Sumut kurang Bermartabatlah dan wajar saya mewakili suara orang Pakpak lainnya tidak simpati pada beliau saat ini, padahal saya beserta kawan kawan ikut dan mendukung bahkan memilih No 01 Edy Ramayadi dalam PILGUBSU yang lalu, tutup Kadirun Padang dengan kecewa.
(Hartono)