Kisah Haru: Dari Tukang Becak, Doktor, sampai Dekan Kampus Ternama

Kisah Haru: Dari Tukang Becak, Doktor, sampai Dekan Kampus Ternama

Spread the love

 

KARAWANG, BeritaIMN.com – “Saya dulu tukang becak,” kata Dr. Tarpan Suparman, S.Pd., M.Pd. Lelaki berusia 55 tahun itu baru saja dilantik sebagai Dekan FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) UBP (Universitas Buana Perjuangan) Karawang. Ia tampil gagah dengan setelan jas lengkap, dasi biru, dan peci warna hitam.

Waktu itu usianya 23 tahun. Ia putra asli Karawang, lahir di Tempuran. Selepas menamatkan pendidikan di SMEA Pendekar (sekarang SMK Pendekar), ia layangkan surat lamaran ke mana-mana. Putra asli Karawang itu cari kerja sampai ke Banten.

Sebagai mana nama tempat lahirnya: Tempuran. Ia seorang petempur andal. Pada suatu malam yang gerah, ia menginap di rumah seorang kawan. Takdir menuntunnya ke sebuah becak tidak terpakai di sudut rumah kawannya itu.

“Waktu itu sekitar tahun ’90-an awal, waktu itu saya masih mencari-cari kerja. Saya lihat ada becak tidak terpakai. Becak itu, saya izin pinjam ke kawan saya. Saya pakai narik becak sampai Maret ’91,” ujar bapak beranak empat itu.

Ia santai-santai saja dilabeli “Tarpan si Tukang Becak”. Baginya itu lebih baik ketimbang dicap sebagai pengangguran.

“Orangtua saya cuma buruh tani. Sawah pun tidak punya,” kata doktor teknologi pendidikan ini.

Sampai saat ini, Tarpan tidak pernah lupa siapa dirinya dulu. Kalau sedang berada di balik setir mobil dan kebetulan ia berpapasan dengan tukang becak, ia tidak segan turun dari mobil dan mengajak mereka “ngopi”.

Karirnya sebagai tukang becak berjalan selama 14 bulan. Becak temannya itu dijual oleh pemiliknya untuk tambahan merenovasi rumah.

Roda nasib membawanya ke Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika). Seseorang menawarkannya pekerjaan sebagai tata usaha di sana. Waktu itu Unsika belum seperti sekarang. Statusnya masih perguruan tinggi swasta.

“Saya dipekerjakan sebagai tenaga tata usaha di Fakultas Ekonomi Unsika,” kata pria yang dua kali menjabat sebagai Dekan FKIP UBP ini.

Tahun 1992, ia mendapat tawaran kuliah di Unsika jurusan PLS (Pendidikan Luar Sekolah). Sebagai mantan tukang becak, ia tahu bahwa hidup yang lebih baik harus diusahakan lewat kayuhan terus menerus. Maka, ia terima tawaran itu. Ia kayuh terus hidupnya sampai mendapatkan titel sebagai doktor teknologi pendidikan.

“Inginnya kuliah di ekonomi, karena saya kerja di ekonomi. Tapi tawarannya hanya untuk jurusan PLS. Ya sudah saya ambil tawaran itu. Tahun 1997, saya mendapat kesempatan membantu dosen mengajar di Unsika. Lalu tahun 1999, jadi kepala tata usaha. Tahun 2002 diangkat sebagai pembantu dekan bidang akademik. Setahun kemudian jadi wakil dekan bidang kemahasiswaan. Dan tahun 2007, saya dipercaya jadi Dekan FKIP. Semuanya di Unsika,” ujar dia.

Tahun 2015, roda nasib membawanya ke tempat lain. Ia ditawari jabatan sebagai Dekan FKIP UBP. Tawaran itu datang bersama konsekuensi lain: ia harus keluar dari Unsika. Meninggalkan kampus yang selama ini membesarkan namanya.

Istrinya membesarkan dan menguatkan hatinya. Istrinya bilang, kesempatan tidak datang dua kali. Lagipula bila bertahan di Unsika yang sudah berubah status menjadi perguruan tinggi negeri, belum tentu suaminya diangkat sebagai PNS.

“Sampai sekarang, saya masih dipercaya sebagai dekan, satu periode lagi,” katanya usai dilantik kembali sebagai dekan bersama para pimpinan UBP lain, Rabu (8/6/2022).

(Red).